ini buat sahabat terbaikku.........
Ku lihat gundukan tanah itu sekali lagi. Gundukan tanah yang berbeda dengan yang lainnya. Gundukan tanah yang membuatku tegar dan semangat menjalani hidup. Gundukan tanah yang membuatku berbeda dari yang dulu. Gundukan tanah yang membuat lambang bintang ini menempel di saku baju hitam-hijauku. Gundukan tanah yang membuat teman-temanku tidak percaya kepadaku, tapi inilah aku sekarang.
Culun. Itulah panggilan dari teman-temanku kepadaku. Entah kenapa apa yang salah denganku hingga aku dibilang itu. Aku benci panggilan itu. Karena panggilan itu membuatku tidak punya teman. Sendiri. Padahal aku masih ingin menikmati masa kanak-kanakku dengan celana merahku ini. Bermain bersama teman. Belajar bersama. Mengerjakan tugas bersama. Tapi apa dayaku? Boro-boro bermain, didekati saja tidak. Aku merasa di dunia ini sendiri. Tidak ada yang menemaniku. Bagaikan siput di antara ribuan buaya. Dan akulah siputnya. Aku hanya ingin kasih sayang yang tulus. Orangtuaku? Mereka sibuk dengan kertas hijau yang menggiurkan para manusia. Aku seperti mati.
Hari ini hari pertamaku memakai celana biru. Ku lihat lambang “OSIS” di saku bajuku. Berharap kini aku mendapatkan teman. Itu saja. Dan ternyata siput itu muncul menemani siput yang sendiri. Dia bagaikan matahari yang muncul di tengah-tengah awan mendungku. Willy, namanya. Dia mendekati aku yang sedang duduk di pojok kelas. Aku kaget.
“Willy. Kamu?” Sambil menjabat tanganku. Aku yang kaget dengan terbata-bata menjawab pertanyaannya.
“Meldi.” Jawabku singkat. Dia duduk di sampingku dan langsung mengajak ngobrol aku banyak sekali. Pertamanya aku gugup, tapi setelah itu aku tersenyum.
Hari-hari di SMP ku jalani bersama dia dengan senang. Ya, kadang kita bertengkar. Kadang juga dia dicela oleh teman-teman. Ya bagaimana? Orang se-famous dia, kapten basket, ketua osis, kece? jelas! Yang lebih menarik, dia suka sekali tentang militer! Dia ingin sekali menjadi polisi, tentara, atau yang lainnya asal itu di militer. Tuhan, kenapa dia malah mendekati aku yang culun, -Panggilan itu masih sama ketika aku SD- kuper, dan yang pasti tidak tertarik sama sekali di bidang militer. Tapi, bagaimanapun kita selalu bersama. Sahabat. Ya, cuma sahabat. Tidak lebih. Perbedaan tidak menjadi halangan untuk bersahabat, kan?
Hari ini hari kelulusan. Syukur, kita mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
“Aku ingin melanjutkan di sekolah militer!!” Ungkap dia pertama kali setelah lulus. Aku hanya bisa tersenyum. Tuhan, mengapa aku harus berpisah dengan satu-satunya orang yang mengerti aku cepat sekali. Aku masih ingin terus bersamanya. Hanya ketika berada di dekatnya yang buatku nyaman.
“Aku harus satu sekolah dengannya. Jangan berpisah, jangan!” Ungkapku dalam hati.
—
“Besok kalau aku meninggal di medan perang gimana?” Tanya Willy. Aku hanya bisa menggeleng.
Ya, kita sebentar lagi akan lulus, dan kita harus ikut berperang besok, melawan Timor Leste. Ya, saat ini sedang ada krisis politik yang menyebabkan Indonesia angkat senjata terhadap Timor Leste. Aku tegang. Ini pertama kali, pertama kali dalam seumur hidupku. Aku tidak menyangka akhirnya akan menjadi seperti ini. Aku tidak menyangka pakaian hijau-hitam ini ku pakai. Aku tidak percaya sekarang aku masih bersama orang yang membuatku nyaman untuk pertama kali. Aku tidak mau kehilangan seseorang yang sangat berarti untukku.
“Tuhan punya takdir” Jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Awa” Belum selesai aku bilang ‘awas’ kepada Willy tapi terlambat. Di Belakang Willy sudah ada musuh yang menyiapkan senjata untuk menembaknya.
“Jangan.. Jangan!” Ungkapku di dalam hati. Aku segera berlari menghampirinya tapi terlambat! Ada musuh yang memegang kaki dan tanganku. Sungguh aku ingin menghampiri Willy dan mencegah peluru itu masuk ke tubuhnya. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seperti mati rasa, seperti tercekat biji salak.
“Jangan, Tuhan jangann!!” Ungkapku di dalam hati. Namun…
DUAR!!!
Langsung aku melepas genggaman musuh yang ingin mengikatku dengan tali. Aku berlari menghampiri Willy yang sudah berlumuran darah. Ku lihat di atasnya, peluru itu menancap di perutnya.
“Willy!!!” Teriakku sambil terisak. Ku lihat matanya masih terbuka. Dia berusaha tersenyum kepadaku. Tidak ku hiraukan lagi panggilan tentara lain yang mengingatkanku. Hanya Willy di pikiranku sekarang!
“Teruskan” Ucapnya terakhir kali. Matanya tertutup. Jantungnya sudah tidak berdetak. Hembus napasnya berhenti.
“Willy!!!” Tangisku pecah.
—
“Ini aku sekarang, sahabat.” Ku lihat lagi gundukan tanah itu.
Tuhan, tempatkanlah dia di singgasanamu yang paling terhormat. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Dia orang yang menjadikanku sekarang ini. Dia yang membuat awan gelapku hilang menjadi matahari cerah. Dia adalah siput yang menemani seekor siput di antara ribuan buaya.
Ku lihat lambang bintang di saku bajuku lagi. “Ini untukmu, sahabat.”
Cerpen Karangan: Melodia Rezadhini
Blog: melodiarezadhini525.blogspot.com
Facebook: Melodia Rezadhini
Enjoy :) Thanks for reading. Salam kenal :)
Ku lihat gundukan tanah itu sekali lagi. Gundukan tanah yang berbeda dengan yang lainnya. Gundukan tanah yang membuatku tegar dan semangat menjalani hidup. Gundukan tanah yang membuatku berbeda dari yang dulu. Gundukan tanah yang membuat lambang bintang ini menempel di saku baju hitam-hijauku. Gundukan tanah yang membuat teman-temanku tidak percaya kepadaku, tapi inilah aku sekarang.
Culun. Itulah panggilan dari teman-temanku kepadaku. Entah kenapa apa yang salah denganku hingga aku dibilang itu. Aku benci panggilan itu. Karena panggilan itu membuatku tidak punya teman. Sendiri. Padahal aku masih ingin menikmati masa kanak-kanakku dengan celana merahku ini. Bermain bersama teman. Belajar bersama. Mengerjakan tugas bersama. Tapi apa dayaku? Boro-boro bermain, didekati saja tidak. Aku merasa di dunia ini sendiri. Tidak ada yang menemaniku. Bagaikan siput di antara ribuan buaya. Dan akulah siputnya. Aku hanya ingin kasih sayang yang tulus. Orangtuaku? Mereka sibuk dengan kertas hijau yang menggiurkan para manusia. Aku seperti mati.
Hari ini hari pertamaku memakai celana biru. Ku lihat lambang “OSIS” di saku bajuku. Berharap kini aku mendapatkan teman. Itu saja. Dan ternyata siput itu muncul menemani siput yang sendiri. Dia bagaikan matahari yang muncul di tengah-tengah awan mendungku. Willy, namanya. Dia mendekati aku yang sedang duduk di pojok kelas. Aku kaget.
“Willy. Kamu?” Sambil menjabat tanganku. Aku yang kaget dengan terbata-bata menjawab pertanyaannya.
“Meldi.” Jawabku singkat. Dia duduk di sampingku dan langsung mengajak ngobrol aku banyak sekali. Pertamanya aku gugup, tapi setelah itu aku tersenyum.
Hari-hari di SMP ku jalani bersama dia dengan senang. Ya, kadang kita bertengkar. Kadang juga dia dicela oleh teman-teman. Ya bagaimana? Orang se-famous dia, kapten basket, ketua osis, kece? jelas! Yang lebih menarik, dia suka sekali tentang militer! Dia ingin sekali menjadi polisi, tentara, atau yang lainnya asal itu di militer. Tuhan, kenapa dia malah mendekati aku yang culun, -Panggilan itu masih sama ketika aku SD- kuper, dan yang pasti tidak tertarik sama sekali di bidang militer. Tapi, bagaimanapun kita selalu bersama. Sahabat. Ya, cuma sahabat. Tidak lebih. Perbedaan tidak menjadi halangan untuk bersahabat, kan?
Hari ini hari kelulusan. Syukur, kita mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
“Aku ingin melanjutkan di sekolah militer!!” Ungkap dia pertama kali setelah lulus. Aku hanya bisa tersenyum. Tuhan, mengapa aku harus berpisah dengan satu-satunya orang yang mengerti aku cepat sekali. Aku masih ingin terus bersamanya. Hanya ketika berada di dekatnya yang buatku nyaman.
“Aku harus satu sekolah dengannya. Jangan berpisah, jangan!” Ungkapku dalam hati.
—
“Besok kalau aku meninggal di medan perang gimana?” Tanya Willy. Aku hanya bisa menggeleng.
Ya, kita sebentar lagi akan lulus, dan kita harus ikut berperang besok, melawan Timor Leste. Ya, saat ini sedang ada krisis politik yang menyebabkan Indonesia angkat senjata terhadap Timor Leste. Aku tegang. Ini pertama kali, pertama kali dalam seumur hidupku. Aku tidak menyangka akhirnya akan menjadi seperti ini. Aku tidak menyangka pakaian hijau-hitam ini ku pakai. Aku tidak percaya sekarang aku masih bersama orang yang membuatku nyaman untuk pertama kali. Aku tidak mau kehilangan seseorang yang sangat berarti untukku.
“Tuhan punya takdir” Jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Awa” Belum selesai aku bilang ‘awas’ kepada Willy tapi terlambat. Di Belakang Willy sudah ada musuh yang menyiapkan senjata untuk menembaknya.
“Jangan.. Jangan!” Ungkapku di dalam hati. Aku segera berlari menghampirinya tapi terlambat! Ada musuh yang memegang kaki dan tanganku. Sungguh aku ingin menghampiri Willy dan mencegah peluru itu masuk ke tubuhnya. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seperti mati rasa, seperti tercekat biji salak.
“Jangan, Tuhan jangann!!” Ungkapku di dalam hati. Namun…
DUAR!!!
Langsung aku melepas genggaman musuh yang ingin mengikatku dengan tali. Aku berlari menghampiri Willy yang sudah berlumuran darah. Ku lihat di atasnya, peluru itu menancap di perutnya.
“Willy!!!” Teriakku sambil terisak. Ku lihat matanya masih terbuka. Dia berusaha tersenyum kepadaku. Tidak ku hiraukan lagi panggilan tentara lain yang mengingatkanku. Hanya Willy di pikiranku sekarang!
“Teruskan” Ucapnya terakhir kali. Matanya tertutup. Jantungnya sudah tidak berdetak. Hembus napasnya berhenti.
“Willy!!!” Tangisku pecah.
—
“Ini aku sekarang, sahabat.” Ku lihat lagi gundukan tanah itu.
Tuhan, tempatkanlah dia di singgasanamu yang paling terhormat. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Dia orang yang menjadikanku sekarang ini. Dia yang membuat awan gelapku hilang menjadi matahari cerah. Dia adalah siput yang menemani seekor siput di antara ribuan buaya.
Ku lihat lambang bintang di saku bajuku lagi. “Ini untukmu, sahabat.”
Cerpen Karangan: Melodia Rezadhini
Blog: melodiarezadhini525.blogspot.com
Facebook: Melodia Rezadhini
Enjoy :) Thanks for reading. Salam kenal :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar